SAMARINDA – Pernyataan dua anggota DPRD di Kalimantan Timur (Kaltim), berinisial AG dan AF di media sosial menuai sorotan tajam. Unggahan serta komentar keduanya di media sosial (medsos) dinilai mengandung unsur Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) yang berpotensi memicu perpecahan di masyarakat.
Akademisi Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menilai, komentar kedua legislator itu mencerminkan kegagalan dalam memahami etika dan hukum sebagai pejabat publik.
“Sederhananya, ada semacam kegagalan anggota DPRD dalam memahami etika pejabat publik,” Ungkap Herdiansyah, yang akrab disapa Castro, kepada wartawan, Sabtu (11/10/2025).
Menurut Castro, pernyataan bermuatan SARA tersebut menyentuh dua ranah: etika dan hukum. Dari sisi etika, kata dia, anggota dewan seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat, bukan justru mengeluarkan ucapan yang dapat memicu konflik sosial.
“Mereka ini cerminan publik. Kalau anggota DPRD saja mudah mengucapkan kata-kata yang menimbulkan permusuhan dalam konteks SARA, tentu ini patut dipertanyakan,” tegasnya.
Castro menambahkan, tanggung jawab moral pejabat publik melekat sejak mereka mengucapkan sumpah jabatan. Sumpah itu menuntut setiap anggota dewan untuk menjaga perilaku, ucapan, serta menaati hukum yang berlaku.
“Saat bersumpah, mereka berkomitmen mematuhi aturan hukum. Jadi, seharusnya mereka memahami batas ruang hukum yang diatur, termasuk larangan mengucapkan hal-hal yang menjurus pada permusuhan berdasarkan SARA,” jelasnya.
Dosen Fakultas Hukum Unmul itu menegaskan, dari aspek hukum, ucapan bermuatan SARA di media sosial dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Pasal itu jelas menyebutkan, siapa pun yang menyebarkan ujaran kebencian berbasis SARA dapat dipidana hingga enam tahun penjara. Masa mereka tidak baca Undang-Undang ITE?” ujarnya dengan nada kecewa.
Castro juga mengkritik kebiasaan sebagian politisi yang lebih sering berbicara dulu sebelum memahami aturan hukum.
“Kalau di kampus, kami harus membaca dulu baru berbicara. Tapi sebagian politisi ini malah sebaliknya. Padahal, mereka dituntut memahami aturan hukum dan etika publik,” sindirnya.
Ia pun menyayangkan masih adanya anggota dewan yang tidak memahami aturan internal seperti Undang-Undang MD3 dan tata tertib DPRD.
“Saya bahkan siap membuka kelas untuk mereka, kalau memang mau belajar soal etika pejabat publik,” ujar Castro setengah bercanda.
Sebagai solusi, Castro menyebut persoalan tersebut bisa ditangani melalui dua jalur. Pertama, Badan Kehormatan (BK) DPRD dapat memeriksa pelanggaran etik. Kedua, penegak hukum dapat menindak jika pernyataan mereka terbukti memenuhi unsur pidana sesuai Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
“Kalau memang mau dilaporkan, silakan. Sepanjang ada unsur SARA dan memenuhi ketentuan hukum, tentu bisa diproses,” pungkasnya. (*)