76 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Kebebasan Pers Masih Jauh Dari Kenyataan

oleh
oleh
(Foto : Internet)

SAMARINDA.apakabar.co– Tepat 76 tahun Negara Indonesia merdeka berkat perjuangan para pahlawan dan seluruh rakyat Indonesia walaupun diraih dengan darah dan cucuran air mata. Namun kemerdekaan di masa sekarang ini, terlebih di masa pandemi Covid-19, tentu memiliki makna yang berbeda.

Dikondisi saat ini, perjuangan rakyat Indonesia masih tetap berlanjut, namun dengan objek yang berbeda, melawan musuh yang tidak berwujud yakni Covid-19, yang tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga menyerang disegala sektor diantaranya sektor ekonomi, pendidikan, pembangunan dan lain-lain.

Insan pers yang sejatinya merupakan ujung tombak dalam penyampaian informasi tentu menjadi salah satu aktor penting dalam mendukung perjuangan dan kemerdekaan bangsa.

Pers tentu memiliki cara yang berbeda, melakukan perjuangan dengan caranya sendiri, medukung bahkan ikut membantu menjaga marwah kemerdekaan bangsa dengan penyebarluasan informasi kepada publik dengan akurat, data dan sumber yang terparcaya. Peranan pers sebagai alat perjuangan dengan orientasinya yang mendukung perjuangan pergerakan nasional telah mengambil bagian penting dari epsidoe perjuangan dalam upaya mencapai kemerdekaan. Di samping sebagai wadah di mana ide-ide dan aspirasi organisasi disuarakan, juga telah berperan dalam menyadarkan dan membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan yang kemudian diadopsi sebagai suatu sember gerakan perlawanan.

Namun tepat 76 tahun pula, pers masih jauh dari kata “MERDEKA” terlebih pada kerja-kerja jurnalistik yang hingga saat ini pula masih terbelenggu. Kebebasan pers yang seharusnya memerdekakan insan jurnalis hingga saat ini pula masih menjadi ancaman kebebasan itu sendiri.

Kebebasan berjurnalis masih seperti lisan yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, kenyataannya gerak kebebasan pers dalam meyampaikan informasinya kepada publik masih tetap dibatasi bahkan diintervensi. Bahkan penyampaian informasi yang sebenarnya berubah menjadi ancaman dan tindakan perspektif yang dialami insan jurnalis.

BACA JUGA :  Kenalan Di Michat, Janda Muda Anak Satu Digoyang Disemak-Semak
(Foto : apakabar.co)

Pers Yang Merdeka Akan Menghasilkan Iklim Demokrasi Yang Baik

Sebagai pilar demokrasi tentu pers menjadi salah satu yang paling terdepan dalam mendukung perjuangan dan mengawal keberlangsungan kemerdekaan bangsa. Namun sepertinya itu masih jauh dari kenyataan. Kasus kekerasan masih terjadi terhadap jurnalis. Begitu pula kasus kematian terhadap jurnalis yang terjadi sejak puluhan tahun lalu juga hingga saat ini masih belum terungkap. Terlebih kerja-kerja jurnalis dalam memerdekakan kenyataan masih sering diamputasi.

“Negara kita memang sudah merdeka, tapi kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi sampai dengan hari ini. Saat ini jurnalis masih harus berjuang untuk mengukuhkan profesinya,” ucap Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Samarinda Nofiatul, Senin (16/8/2021) saat di hubungi via telepon seluler.

Ia menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis masih menjadi hal yang mengkhawatirkan dalam berdemokrasi di negara Indonesia. Kriminalisasi jurnalis juga masih menjadi ancaman, terlebih banyaknya kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa rekan-rekan jurnalis saat ini masih sering terjadi.

“Termasuk kekerasan dan represi yang melanda jurnalis. Ratusan jurnalis sudah jadi korban. Termasuk lima kawan kita di Samarinda,” tegasnya

Pers yang merdeka, akan menghasilkan iklim demokrasi yang lebih baik.  Hal ini juga ditunjang dengan kapabilitas dan kualitas jurnalis itu sendiri untuk bekerja sesuai kode etik.

BACA JUGA :  Usai Menabrak Ibu-Ibu, Sopir Taksi Onlie Kabur, Babak Belur Dihajar Warga

Sebab, bagaimana mau merdeka persnya kalau liputan malah dipukuli atau diintimidasi.

“Karena pers adalah pilar demokrasi, mestinya pers memang harus merdeka. Bukan direpresi karena liputan lagi,” ucapnya.

Pers Belum 100 Persen Merasakan “MERDEKA”

Jika dimaknai secara luas, kemerdekaan bagi pers masih belum 100 persen, hal tersebut tentu menjadi pekerjaan yang harus segera diselesaikan secara bersama-sama.

Terlebih jurnalis saat ini masih dihadapkan dengan kondisi dengan tergantung oleh perusahaan. Jika wartawan yang merdeka perusahaan apapun masih bisa hidup, tapi masih banyak wartawan yang tunduk dan patuh terhadap aturan perusahaan itu sendiri.

“Misalkan jika perusahaan memiliki kepentingan maka wartawan tidak bisa untuk memberitakan. Ini menjadi salah satu contoh yang harus diperjuangkan. Perusahaan harus bisa melihat mana yang merupakan profesi dan dengan pekerjaan,” ucap Endro S Efendi ketua PWI Kaltim.

Kedua lanjut Endra bahwa, kesejahteraan wartawan dapat meningkat dengan adanya uji kopetensi agar perusahaan bisa menghargai bahwa profesionalisme wartawan juga ada.

“Kita juga berharap pemerintah memberikan insentif, bukan berarti membayar wartawan tapi wartawan juga ikut andil  mencerdaskan bangsa dengan menyampaikan informasi yang tepat kepada masyarakat,” sebutnya.

Kenapa banyak berita hoax karena saat ini banyak wartawan pesanan yang mencari keuntungan sesaat.

“Kita ingin pers juga semakin merata, aparat penegak hukum pun harus bisa objektif mana wartawan yang mencari kebenaran dengan wartawan yang mengganggu, aparat harus bisa membedakan. Aparat juga harus bsia memberikan perlindungan hukum bagi wartawan,” pungkasnya.